Innovel - ISTRI PENGKHIANAT
close button

Tambahkan Innovel ke halaman utama untuk menikmati novel terbaik.

ISTRI PENGKHIANAT
book-rating-imgUMUR UNTUK MEMBACA 16+
Bolang Liaran
Romance
ABSTRAK
Bab 1 – Awal Langkah JayaPagi itu Surabaya masih diselimuti embun tipis. Jaya berdiri di depan rumah sederhana dengan ransel hitam di punggung. Posturnya tegap, tinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh, kulit sawo matang khas pemuda Jawa, dan mata tajam penuh semangat. Senyumnya sederhana, tapi punya wibawa yang membuat orang mudah percaya.Ibunya menatapnya sambil menggenggam tangan Jaya erat-erat. “Kamu yakin, Nak, mau ke Jakarta sendirian? Hidup di sana nggak gampang,” ucapnya dengan suara bergetar.Jaya tersenyum, mencoba menenangkan. “Aku yakin, Bu. Doakan aku bisa berhasil,” katanya sambil mencium tangan ibunya penuh hormat.---Hari-hari pertama di Jakarta berat. Jaya kerja serabutan: kuli angkut, cuci piring, sampai jadi ojek. Malamnya ia pulang ke kamar kos sempit yang dindingnya lembab.Sore itu hujan deras. Jaya berlari kecil masuk ke sebuah warung makan sederhana untuk berteduh. Dari balik tirai plastik, ia melihat seorang perempuan muda menggendong anak kecil.Perempuan itu cantik, tingginya sedang dengan tubuh yang terawat. Wajah ovalnya dihiasi hidung mancung, bibir merah alami, dan sepasang mata bening yang menyimpan ketegaran. Rambut hitam panjangnya dikuncir sederhana. Meski sederhana, pesonanya sulit diabaikan.Anak kecil di gendongannya menatap Jaya dengan rasa penasaran.Perempuan itu tersenyum ramah. “Mas, sini agak ke dalam, nanti kebasahan,” ucapnya sambil menepuk kursi kosong di sampingnya.Jaya mengangguk cepat, lalu melangkah mendekat dengan senyum sopan. “Terima kasih, Mbak,” jawabnya sambil mengusap rambutnya yang basah.Anak kecil itu langsung menunjuk Jaya. “Bu, ini siapa?” tanyanya polos dengan mata bulat yang berbinar.Perempuan itu terkekeh kecil, lalu menoleh ke arah Jaya. “Namanya siapa, Mas?” tanyanya lembut.Jaya menegakkan tubuh, lalu menjawab dengan senyum hangat. “Saya Jaya. Dari Surabaya. Baru di Jakarta beberapa hari.”“Nama yang bagus,” gumam perempuan itu, lalu tersenyum manis. “Saya Rema. Ini anak saya, Khafi.”Mereka saling bertatapan sejenak. Jaya bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari sorot mata Rema—ada luka, tapi juga kekuatan yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.“Hujannya deras sekali, ya. Masih jauh rumahnya, Mbak?” tanya Jaya sambil melirik keluar warung.“Tidak terlalu jauh. Cuma kalau hujan gini agak repot, apalagi bawa anak,” jawab Rema sambil mengusap kepala Khafi yang mulai rewel.Jaya spontan berdiri. “Kalau mau, biar saya bantu antar. Saya juga sekalian cari udara segar.” Ia menatap Khafi, lalu tersenyum ramah. “Setuju nggak kalau Om Jaya ikut?”Khafi terkekeh malu-malu, lalu mengangguk. Rema menatap ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk kecil. “Kalau begitu… baiklah.”Mereka berjalan bersama menembus hujan, dengan Jaya di sisi luar, menjaga agar cipratan air tidak mengenai Rema dan Khafi. Sesekali Khafi tertawa kecil karena hujan mengenai pipinya, membuat suasana menjadi lebih hangat.Sesampainya di depan rumah kontrakan sederhana, Rema menoleh sambil tersenyum. “Terima kasih, Mas Jaya. Tanpa bantuanmu, pasti aku kerepotan.”Jaya mengangguk sambil tersenyum puas. “Sama-sama, Mbak. Senang bisa membantu.”---Malam itu, Jaya pulang ke kos dengan hati yang berbeda. Pertemuan singkat di tengah hujan membuatnya merasa, untuk pertama kalinya sejak tiba di Jakarta, ia punya alasan baru untuk bertahan.> Ia belum tahu, pertemuan sederhana itu akan menjadi awal dari kisah panjang yang penuh luka sekaligus harapan.

Perpustakaan

Temukan

search

Saya